Banyak temen2 yang nanyain bagaimana kisah cintaku sama suamiku sampai bisa menikah. Mungkin beberapa pertanyaan awal dari mereka kaya begini: “Kok bisa kenal sama mas Ganjar, emang kenal dimana?” atau “Suamimu temen apa sama kamu Sat sebelum nikah?” atau “Sat, suamimu dulu kuliah di IPB yah, dan kamu ketemu sama dia di IPB juga?” atau “Gimana sih cerita kamu sama suamimu sampai akhirnya nikah?” Itu sih beberapa generalisasi pertanyaan kebanyakan orang yang penasaran kisah aku sama suamiku sebelum nikah.
So, aku mau reminiscing aja di blog ini gimana sih perjalananku sampai akhirnya menikah sama suamiku. Tapi klo cuma bicara kenal dari sebelum nikah sampai ke hari pernikahan sebenernya enggak epic2 amat sih, untuk dijadiin cerita sinetron gak seru kayaknya. Soalnya tuh aku dari komitmen untuk menikah sampai pada tanggal pernikahan hanya berjalan 3 bulan aja, gak ada sesuatu yang drama and romantic kecuali kisah persiapan pernikahan yang semua kami urus berdua tanpa mau merepotkan orang2 tua kami. Etapi ya namanya orang tua yah, mana mau duduk ongkang2 kaki dihadapkan depan mata sama perhelatan akbar pernikahan anaknya, tetep aja mereka bantu2 mulai dari merekomendasikan paket catering yang terbukti ciamik menurut mereka sampe bantu doa 🙂 But their pray are meaning so much to us.
Nah jadi begini ceritanya, aku memang kuliah di IPB angkatan 2002 , dan suamiku pun sama mahasiswa IPB pada angkaan yang sama pula denganku, yang klo di IPB nyebutnya angkatan berdasarkan ulang tahunnya IPB bukan berdasarkan tahun masuk mahasiswa, jadi untuk tahun masuk kami 2002 disebutnya angkatan 39. Di IPB aku dan suamiku bener2 dua individu mahasiswa yang tidak saling mengenal, bahkan kami gak tau apakah selama 4,5 tahun masa perkuliahan kami di Bogor, pernah saling bertemu selintas aja ketemu gitu berpapasan di jalan, Wallahu’alam kami gak tau sama sekali. Sebenernya sih aku penasaran banget apakah selama kuliah di IPB yang kami sama2 menghabiskan sekitar 3 tahun di tempat yang sama di Dramaga, apa pernah sih aku ketemu sama suamiku, klo ada video rekamannya di pundakku misalnya pengen deh aku puter cuma sekedar pengen liat apa dulu sempet kami dipertemukan walau sedetik? hehehe 😛
Suamiku masuk IPB di fakultas Perikanan lewat jalur PMDK dan sementara aku masuk di fakultas MIPA lewat jalur SPMB, selama masa awal2 kuliah namanya masa Tahap Pendidikan Bersama (TPB) seluruh mahasiswa IPB diwajibkan tinggal di asrama baik siswa matrikulasi PMDK yang lebih duluan masuk maupun siswa baru SPMB yang belakangan masuk kaya aku ini. Asrama IPB diwajibkan kepada mahasiswa selama setahun TPB baru pada angkatan 39 ini, jadi kami perdana menghuni gedung asrama yang baru kelar dibangun juga. Asrama putra dan putri terpisah cukup jauh walaupun sama2 dalam lingkungan kampus IPB Dramaga. Klo untuk aku yang tinggal di Jakarta dengan adanya kewajiban stay di asrama ini sangat membantu, jadi aku udah gak usah repot2 lagi nyari kost2an di Bogor untuk setahun pertama, tapi klo bagi suamiku dan temen2 lain yang domisilinya di Bogor, kewajiban ini kayanya memberatkan dan mubazir deh soalnya kan buat apa mereka bayar asrama sementara sebenernya rumah mereka bisa dilaju dari kampus. Tapi ya namanya peraturan harus tetep dipatuhi jadi buat yang berdomisili di Bogor mereka tetep harus bayar uang asrama selama setahun, walaupun kenyataannya banyak juga yang jarang tidur di asrama, ya iyalah ya dimana-mana juga enakan tinggal di rumah sendiri, makan gratis, bisa nonton TV sepuasnya, dan bisa manja2an sama ortu, dibanding tinggal di asrama makan kudu beli dan segabruk peraturan. Di asrama tuh barang2 elektronik yang harus pake listrik is not allowed such as TV, radio, notebook, even water heater, ya Tuhan can you imaging how was my life in there? Yes it was quite boring. TV cuma ada 2 yaitu di ruang kantin yang klo nonton udah kaya lagi maen layangan leher kudu ngedangak soalnya TVnya udah kecil dan digantung di tembok atas pula, dan di lantai 2 yang klo nonton musti ngantri. Omagah aku sih ogah deh berpegel2 leher dan ngantri buat nonton TV di ruangan rame dan yang nonton segabruk, jadi gak bisa pilih chanel seenak kita. Terus sekamar ukuran 4×3 meter diisi sama 3-4 mahasiswa jadi pake 2 kasur tingkat gitu, berhubung aku anak SPMB kan datengnya belakangan jadi yah masuk2 ke kamar asrama udah dihuni 3 orang dan aku kebagian kasur yang di atas, ya mo gimana lagi terima nasib aja deh dan jadi anak baru biar gak dipelonco sama temen kamar ya kudu bersikap nrimo. Belom lagi cerita2 mistis yang membumbui kehidupan di asrama, waaah klo yang ini skip aja deh ya. Tapi justru ini yang membuat rumahtanggaku seru soalnya bisa tuker cerita pengalaman masing2 di IPB, juga saling croscek tau gak sih dulu tentang cerita2 serem yang sempet menghebohkan di IPB pada angkatan kami. Errrr….ini ko jadi kepanjangan cerita kisah di IPBnya, hahaha 😀
Long story short, aku baru tau juga klo ternyata aku diwisuda bersamaan dengan hari diwisudanya suamiku juga loh yaitu tanggal 13 Juni 2007, and again aku penasaran apakah hari itu aku bersama ratusan wisudawan lain yang dikumpulin di gedung Graha Widya Wisuda (GWW) IPB pernah sekali aja ketemu berpapasan sama the-one-in-a-million-man itu? Ah lagi-lagi andai aja di jidatku (eh atau di pundak ya, ah whereever-lah) ada kamera yang bisa merekam moment itu 😀 Tapi klo kata Maudi Ayundya walaupun gak ada kamera yang bisa memutarkan rekaman selama aku kuliah di IPB, tapi di kepala kami pasti ada radar yang bisa saling menerima sinyal cinta suci kami beberapa tahun kemudian, buktinya Qadar Allah mempersatukan kami sekarang walaupun di IPB kami entah pernah ketemu apa enggak, cie..cieeee 😀 Lanjut kisahnya setelah diwisuda barengan walaupun mungkin gak ketemuan, kami dua individu tidak saling kenal yang terpisah dimensi jarak dan waktu ini melamar kerja di perusahaan yang sama tentunya gak pake janjian, ya iyalah ngana pikir jo janjian lewat telepati. Jadi ceritanya kami ditakdirkan Allah bertemu di perusahaan yang sama tahun 2007, walaupun aku dipanggil HRD dan masuk duluan, kami masuk cuma beda sebulan doang. Kita beda intake tapi lagi-lagi namanya Qadarullah siapa yang tau yah, kita ditempatin di divisi yang sama loh. Nah dari situlah aku mengenal pria baik hati itu sebagai rekan kerja, pria itu yang sekarang jadi suamiku. Selama 3 tahun berjalan, kami menjalani kehidupan kami seperti biasa Business As Usual, dinamika kehidupan orang kantoran kami jalani sebagai rekan kerja biasa. Kami sempat menjadi teman satu team Quality Control, dan suamiku itu kind of nice person, ditengah pressure deadline delivery time team kami yang membuat tingkat kestressan setiap anggota team meningkat suamiku dengan ketenangan jiwanya bisa memberi advice kepada semua anggota team lain sehingga menjadi lebih tenang. Kami pernah juga sama2 overtime sampai 36 jam loh di kantor, dan semua itu sekarang kami kenang sebagai fun memory.
Sampai pada saatnya alert di kepalaku berbunyi, tahun 2009 adalah deadlineku untuk menikah karena Desember tahun 2009 usiaku udah 25 tahun, dan aku punya target pribadi menikah pada usia maksimal 25 tahun, tapi sementara pada saat itu aku belum punya calon suami, mungkin saking keenakannya nyari duit :P. May day..may day..may day S.O.S I need backup hahaha 😀 Soalnya ortuku juga udah nanya2in sih “nduk kamu bentar lagi udah mau 25 tahun loh, mana calonmu ko gak ada laki-laki yang dikenalin ke mamah? Mamah aja umur 23 udah punya anak satu loh, jangan keasyikan kerja loh nduk, inget umur, kamu itu perempuan jangan kelamaan” Towew..wew..wew.. Haduh mamaaah tolong jodohin aku aja deh!!! Etapi ternyata ortuku termasuk orangtua yang gak mau menjodoh2kan anaknya, walaupun udah aku minta tapi mamahku menolak untuk nyariin aku jodoh loh…hahaha Rasain kamu Sat, harus nyari sendiri 😛
Semua bermuara pada air mata rengekkanku pada Allah Azza wa Jalla, bahwa aku memohon atas jodoh yang terbaik dariNya, jika memang jodoh itu sudah dekat dariku permudahlah aku bertemu dengannya. Demi Allah pencarianku atas jodohku aku serahkan sepenuhnya kepada Allah, karena saat itu aku belom ada pilihan calon suami siapapun. Dan alhamdulillaah Allah jawab dengan tunai semua doa dan permohonanku padaNya, ealaaa ujug2 suamiku itu di jam istirahat kantor menanyakan langsung kepadaku apakah aku sudah siap menikah? Pertanyaan yang terus terang mudah dengan mantap aku jawab “siap”, tapi ternyata bikin aku gelagapan juga klo ditanya langsung oleh pria yang belum “dekat” samasekali denganku dan dia pure rekan kerjaku (ih ge-er deh aku, kenapa juga harus deg-degan orang dia cuma nanya kesiapan ko bukan ngelamar wakaka :P). Tapi alhamdulillah bisa kujawab dengan mantab saat itu, “insyaAllah saya siap lahir batin untuk menikah“…cie..cie..Sasat 🙂 Eterus dia nanyanya berlanjut via SMS, pada saat itu suamiku mengajukan beberapa pertanyaan yang sebenernya aku bingung ko tiba2 dia lewat SMS nanya macem2 yang pertanyaannya gak mudah aku jawab, tapi ternyata insyaAllah jawaban2ku itulah yang membawa kemantapan hatinya memilihku sebagai calon istrinya. Suamiku pada saat itu menanyakan beberapa pertanyaan lanjutan setelah kesiapanku untuk menikah, kayak gini:
1. Menurutmu apa arti pernikahan, dan untuk apa pernikahan itu bagimu?
2. Apakah kamu tau apakah kewajiban dan hak seorang istri dan suami dalam Islam?
3. Bagimana peranan orangtua terhadap anaknya menurut Islam?
4. Menikahkan 2 keluarga, ketika 2 individu menikah bagaimana menurutmu?
Itu pertanyaan2nya, udah kaya soal UAS di KUA kan yaaa???? 😛 Suamiku menanyakan semua pertanyaan itu dalam rangka penseleksian calon dan memantapkan hatinya, karena ternyata dia juga punya target yang sama denganku, menikah pada umur 25 tahun. Dan ternyata jawaban2ku yang merupakan juga prinsipku, click dengannya dan meyakinkan suamiku untuk mengajak ta’aruf menuju pernikahan, tentunya dimantapkan lagi dengan istikharah kami berdua. Aku mengiyakan komitmen ta’aruf kami setelah meminta persetujuan ortuku terlebih dahulu, itu juga menjadi point plus satu lagi di mata suamiku pada waktu itu, bahwa aku gak langsung mengiyakan tapi menanyakan dulu kepada ortuku tentang persetujuan mereka. Tentu aja pada saat itu ortuku menanyakan siapa gerangan laki-laki yang berani mengajak nikah anaknya ini, orang suku mana, pendidikannya apa, kerja dimana? Klo pertanyaan2 umum gitu sih aku bisa jawabnya, nah klo ortuku udah menanyakan: “lah hati kamu sendiri bagaimana nduk, opo kamu tresno karo de’e?” Aku bingung menjawabnya, tapi pastinya ortuku perlu diyakinkan sama anaknya kan yah, masa iya klo anaknya gak suka ortu ngizinin menikahi anaknya, ya akunya dengan memohon petunjuk dari Allah meminta ketetapan hati, jika dia jodoh terbaiku dariMu ya Allah tolong beri aku kematapan hati. Dan kemudian ternyata aku sanggup bilang sama ortuku bahwa aku mau dinikahi oleh laki-laki ini. Ya sudah, kemudian aku jawab ke suamiku: “Bismillah, dengan restu orangtuaku juga iya insyaAllah aku mau berta’aruf untuk menikah denganmu“. Langsung dia bales SMS ku: “Alhamdulillah, insyaAllah besok saya mau ketemu orang tuamu, bisa minta alamatmu dan dipandu ya saya naik angkot apa aja biar bisa sampai rumahmu“. Hatiku dag dig dug gak karuan loh pada saat itu, waah beneran nih dia mau langsung ngomong sm ortuku?! Terjadilah hari itu, ketika suamiku dengan gentle bertemu ortuku dan setelah memperkenalkan diri dan ngobrol2 dengan bapakku dia mengutarakan maksudnya datang ke rumah bahwa dia, mau serius menikahi anaknya. Dan Alhamdulillah bapakku yang sudah tau sebelumnya bahwa ada seorang laki2 temen kerja anaknya yang mau serius ta’aruf untuk menikahinya, langsung menyetujui maksud baik suamiku pada saat itu. Nah setelah pengkhitbahan itu, dia memberikan aku buku tuebel banget untuk aku khatamin baca, judul bukunya Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa (Panduan Nikah Lengkap dari A sampai Z) penulisnya Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, ya Salaam tuh buku tebelnya kira-kira 2000 halaman dan harus aku khatamin dalam waktu 3 bulan saja, PR banget gak sih? Suamiiii ini semua demi kamu nih…
Lalu terus kami menyamakan persepsi acara pernikahan yang akan kami jalanin nanti kaya bagaimana, mikirin kapan tanggal pernikahannya dan estimasi waktu pengurusan tektekbengeknya, mulai dari kapan lamaran resmi keluarga besar dia ke keluarga besarku, pengurusan adinistratif di KUA, cari gedung, cari paketan catering, undangan, souvenir, food test, fitting baju nikah, ketemuan sama MC, konsep acara, penginapan keluarga besar suami di Jakarta, dll. Hal ini ternyata gak mudah dilalui adakala ditengah pressure kerjaan kami berdua kami harus mengurus tektekbengek pernikahan kami all by ourselves, kadang memicu pertengkaran2 kecil karena perselisihan pendapat mengenai masalah teknis acara pernikahan. Kami berdua pada saat itu sepakat bahwa pernikahan kami insyaAllah menjadi pernikahan pertama dan terkahir seumur hidup, jadi kami ingin berlangsung sederhana, khidmat karena Allah, tidak memaksakan kemampuan kami, tapi juga harus jadi unforgetable wedding memory all the time, jadi yah harus yang berkesanlah jadi raja dan ratu selama 5 jam hihihi 😀 Kami pengen menikah di rumah Allah, yaitu Masjid instead di gedung dan mengundang handai tolan semampu kami mengundang tanpa terkecuali. Awalnya aku keukeuh mau di Masjid Pondok Indah si masjid biru impianku semenjak dulu, tapi kerena beberapa pertimbangan dan diskusi dengan pihak keluarga, akhirnya kami memutuskan untuk tidak melangsungkan pernikahan di Masjid Pondok Indah yang klo secara jarak sih kepleset dari rumahku juga udah nyampe. Selang 1,5 bulan dia mengkhitbahku secara pribadi ke bapakku, keluarga besarnya datang ke Jakarta untuk dengan resmi meminangku dan memberikanku cincin tanda ikatan aku sudah dipinang dia, gak cuma cincin pada saat acara lamaran juga dateng barang2 seserahan yang banyaaaaaak, hehehe bahagianya hatiku ini 😛
Tiba hari dimana kami memutuskan untuk menikah yaitu Ahad, tanggal 8 November 2009, di Masjid Jami’ Daarul Adzkaar, Cilandak. Tapi sebelumnya suamiku keterima kerja di perusahaan lain yang lebih relevan di bidangnya yaitu perusahaan di bidang kelautan dan perikanan, jadi agak-agak ribet juga ngurus pernikahan sambil dia baru pindah kerja. Semua itu kita jalanin dengan stressed but happy, karena mikirnya udah pas pernikahan berlangsung aja klo mau dipikiran keribetan ngurus acaranya sih deuh bakalan kapok, hahaha ya harus kapok lah menikah cukup sekali aja kan yah suami??? 🙂 Alhamdulillah acara pernikahan kami mulai dari akad sampai resepsi berjalan lancar. Cateringnya oke punya deh, makasih banyak yah Alfinatin Catering atas excellent catering servicesnya, makanannya endeus dan yang terpenting gak ada yang kekurangan makanan dan bahkan alhamdulillah berlebih sampai bisa di bawa pulang untuk para undangan yang datengnya ke rumah bukan ke gedung. Sepaket dengan Alfinatin Catering, adalah Thalita Wedding Makeup dan Cokelat Photo Studio yang dua2nya jempol deh, make upnya excellent periasnya langsung si empunya yaitu ibu Helina yang sabaaaaar banget dan komunikatif merias pengantin sesuai maunya si pengantin, yang aku tuh adalah pengantin cerewet banget bak suketi 😛 Mengenai makeup aku gak mau keliatan menor tapi mau tetep keliatan beautiful dan elegant, and Alhamdulillah menurutku it was happened 😀
Awal2 pernikahan kami bukan tanpa cobaan, aku diberikan cobaan keguguran diusia kandungan pertamaku 5 minggu, alhamdulillah tidak harus dikuret. Tapi Allah yang maha baik, memberikan gantinya langsung tanpa haid lagi aku langsung hamil yang kedua. Aku memutuskan untuk resign dari kantorku tepat di masa kerjaku 3 tahun yaitu Juli 2010 ketika usia kandunganku 5 bulan 😀 Aku resign demi calon babyku soalnya aku takut babyku kebawa stress ketika beban kerjaku sedang overload. Terus terang abis pernikahan kami gak bisa honeymoon, karena suamiku belom bisa cuti, tapi Alhamdulillah Allah menggantinya jadi babymoon ke pulau Karimunjawa, Jawa Tengah di saat usia kandungan keduaku 6 bulan. Subhanallaah pulau Karimujawa itu virgin beautiful island yah, dan kami puas bisa babymoon kesana, walaupun dengan perut besar aku masih bisa snorkling dan islands trip. Lalu seperti yang udah aku ceritain di postingan ini, aku sangat menikmati peran sebagai full at home mom, mengurus baby tiada bandingan kenikmatannya, syurgaaaa dunia 🙂
And now, Allah mengganti rasa penasaran aku dulu semasa kuliah S1 dengan sekarang kuliah S2 bersama seorang kekasih, walaupun kebersamaan kami di kampus cuma sebentar, soalnya suami udah setahun lebih awal kuliahnya, jadi sekitar 4 bulanan deh kami bersama di kampus sebagai sepasang kekasih 😀 Dan resumenya nih, sebenernya pada awalnya kami dua individu yang jauh dimata dekat dihati, hanya dimensi jarak dan waktu yang memisahkan kami tetapi di Lauhul Mahfudz insyaAllah kami sudah tercatat sebagai sepasang hamba Allah yang saling melengkapi dan mencintai Fillah. Alhamdulillah Allah pertemukan cinta suci kami di perjanjian suci Mitsaqan Ghaliza yaitu pernikahan, semoga cinta ini bermuara di Raudhatul JannahNya bersama buah2 cinta kami, Aamiin.
PS: foto2 menyusul yah, soalnya lagi sibuk belajar untuk UAS d’oh. Eh sekalian deh mohon doanya supaya Allah berikan aku kemudahan dan kelancaran dalam mengerjakan soal2 ujian dan semoga Allah beri nilai2 ujianku yang bagus2 ya 🙂